Etika Islam Menasihati Pemimpin

Dalam Islam terekam sebuah upaya Nabi Musa as dan saudaranya Nabi Harun as menghadapi kediktatoran Fir’aun. Fir’aun zamannya Nabi Musa ini terkenal angkuh. Bahkan Ia mengklaim dirinya sebagai Tuhan. Ia begitu absolut dan merasa digdaya. Lantas, apakah Allah menyuruh Nabi Musa as dan Nabi Harun as untuk mencaci atau mengejeknya? Justru kebalikannya. Alangkah indahnya Firman Allah SWT tatkala memerintahkan Nabi Musa dan Harun as pada saat mereka diperintahkan untuk memberi nasihat kepada Fir’aun:

Allah SWT berfirman:

فَقُوْلَا لَهٗ قَوْلًا لَّيِّنًا لَّعَلَّهٗ يَتَذَكَّرُ اَوْ يَخْشٰى

“Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya (Fir’aun) dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan dia sadar atau takut.” (QS. Taha: Ayat 44)

Bayangkan, berhadapan dengan Fir’aun saja Nabi Musa dan Nabi Harun diperintahkan Allah untuk bersikap lemah lembut dan penuh kesopanan, apalagi kepada para penguasa atau pemimpin yang notabene masih saudaranya seiman.

Selanjutnya dalam sebuah riwayat, Rasulullah saw bersabda. Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dia berkata: “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Apa saja yang aku larang terhadap kalian, maka jauhilah. Dan apa saja yang aku perintahkan kepada kalian, maka kerjakanlah semampu kalian. Sesungguhnya apa yang membinasakan umat sebelum kalian hanyalah karena mereka banyak bertanya dan menyelisihi Nabi-nabi mereka’.”
[Diriwayatkan oleh al-Bukhâri dan Muslim].

Lebih tegas lagi, Rasulullah Saw dan para Sahabatnya melarang kaum muslimin untuk merendahkan dan menjelek-jelekkan penguasanya. Diceritakan dalam sebuah riwayat, suatu hari ketika seorang penguasa (Ibnu Amir) sedang berkhutbah dengan menggunakan pakaian yang tipis, seseorang yang bernama Abu Bilal mengatakan: Lihatlah pemimpin kita menggunakan pakaiannya orang fasik. Abu Bilal tersebut kemudian ditegur oleh Sahabat Nabi Abu Bakrah sambil menyampaikan hadits yang didengarnya dari Nabi:

مَنْ أَهَانَ سُلْطَا َ اللَّهِ فِي الْأَرْضِ أَهَانَهُ اللَّه

"Barangsiapa yang menghinakan pemimpin Allah di bumi, Allah akan hinakan dia”
(H.R at-Tirmidzi no 2150 dihasankan oleh At-Tirmidzi dan al-Albany)

Dalam hadits yang lain diriwayatkan bahwa Rasulullah Saw bersabda:

مَا مِنْ قَوْمٍ مَشَوْا إِلَى سُلْطَانِ اللهِ لِيَذِلُّوهُإِلاَّ أَذَلَّهُمُ اللَّهُ قَبْلَ يَوْمِ الْقِيَامَة

“Tidaklah suatu kaum berjalan menuju pemimpin Allah dengan tujuan untuk menghinakannya, kecuali Allah akan hinakan ia sebelum hari kiamat"
(H.R alBazzar no 2848 dari Hudzaifah dan diisyaratkan keshahihannya oleh al-Haitsamy dalam Majmauz Zawaaid)

Berdasarkan redaksi dua buah hadits shahih di atas, dan diriwayatkan dari dua Sahabat Nabi yang berbeda memberikan bimbingan kepada kita untuk menahan diri tidak menjelek-jelekkan dan menghinakan pemimpin muslim. Hadits-hadits tersebut juga merupakan dalil larangan demonstrasi dengan menjelek-jelekkan kebijakan penguasa. Pertanyannya, sudahkah Jonru dan kawan-kawannya melakukan apa-apa yang termaktub dalam ayat Al-Qur’an dan sabda-sabda Kanjeng Rasulullah Saw? Apakah “cara-cara” mereka sudah sesuai dengan tuntunan ajaran Islam?

Lalu, bagaimana cara rakyat atau warga negara menyalurkan aspirasinya kepada penguasa atau pemerintah. Dengan kata lain, bagaimana cara-cara yang dipandang Islami untuk melakukan itu semua? Cara mengajukan aspirasi kepada penguasa adalah dengan empat mata, bukan di depan khalayak ramai dan bukan dengan menyebarkan ‘aib penguasa di hadapan rakyat atau media. Hal ini jelas berbeda dengan yang ditempuh dalam demonstrasi. Kadang para demonstran mempunyai sifat pengecut karena hanya berani jika membawa massa dan tidak berani jika hanya sendirian.

Dari ‘Iyadh, Rasulullah Saw bersabda:

مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِسُلْطَانٍ بِأَمْرٍ فَلاَ يُبْدِ لَهُ عَلاَنِيَةً وَلَكِنْ لِيَأْخُذْ بِيَدِهِ فَيَخْلُوَ بِهِ فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ وَإِلاَّ كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِى عَلَيْهِ لَهُ

“Barangsiapa yang hendak menasihati pemerintah dengan suatu perkara maka janganlah ia tampakkan di khalayak ramai. Akan tetapi hendaklah ia mengambil tangan penguasa (raja) dengan empat mata. Jika ia menerima maka itu (yang diinginkan) dan kalau tidak, maka sungguh ia telah menyampaikan nasihat kepadanya. Dosa bagi dia dan pahala baginya (orang yang menasihati)”
(HR. Ahmad 3: 403. Syaikh Syu’aib Al Arnauht mengatakan bahwa hadits ini hasan dilihat dari jalur lain)

Perbuatan demonstrasi atau unjuk rasa bukanlah ajaran dari Islam, namun ditiru dari negeri-negeri Barat. Demikian juga menjelek-jelekkan dan meruntuhkan kewibawaan pemerintah melalui tulisan-tulisan di media massa, buletin, blog, web, maupun media sosial di internet tidak diperkenankan dalam ajaran Islam.

لَا تَسُبُّوا أُمَرَاءَكُمْ، وَلَا تَغِشُّوهُمْ، وَلَا تَبْغَضُوهُمْ، وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاصْبِرُوا؛ فَإِنَّ الْأَمْرَ قَرِيب

“Janganlah kalian mencela para pemimpin kalian, jangan menipu mereka, jangan marah kepada mereka, bertakwalah kepada Allah dan bersabarlah, karena urusannya sudah dekat”
(H.R Ibnu Abi Ashim dalam as-Sunnah dengan sanad yang baik (jayyid))

Sahabat Rasul, Anas bin Malik r.a. menyatakan:

كَانَ اْلأَكَابِرُ مِنْ أَصْحَاب ِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَنْهَوْنَنَا عَنْ سَبِّ اْلأُمَرَاء

ِ”Para pembesar dari Sahabat Rasulullahshollallahu alaihi wasallam melarang kami dari mencela para pemimpin”
(riwayat Ibnu Abdil Bar dalam atTamhid)

Sahabat Rasul yang lain, yakni Abud Darda’ r.a. menyatakan:

وإنَّ أوَّل نِفَاقِ الْمَرْءِ طَعْنُهُ عَلَى إِمَامِه

ِ"Sesungguhnya awal kemunafikan pada seseorang adalah celaannya kepada pemimpinnya”
(riwayat Ibnu Abdil Bar dalam atTamhid dan Ibnu Asakir)

Salah satu Imam Mazhab, Imam Syafi’i r.h. pernah berkata:
“Barangsiapa yang menasihati temannya dengan rahasia, maka ia telah menasihati dan menghiasinya. Dan barangsiapa yang menasihatinya dengan terang-terangan, maka ia telah mempermalukan dan merusaknya.”

Hampir senada dengan Imam Syafi’I r.h, Imam Fudhail bin Iyadh pernah berkata:
”Orang mukmin menasihati dengan cara rahasia; dan orang jahat menasihati dengan cara melecehkan dan memaki-maki.”

Uraian ini ditutup oleh seorang Ulama besar Arab Saudi, Syaikh bin Baz yang berkata :
”Menasihati para pemimpin dengan cara terang-terangan melalui mimbar-mimbar atau tempat-tempat umum, bukan (merupakan) cara atau manhaj Salaf. Sebab, hal itu akan mengakibatkan keresahan dan menjatuhkan martabat para pemimpin. Akan tetapi, (cara) manhaj Salaf dalam menasihati pemimpin yaitu dengan mendatanginya, mengirim surat atau menyuruh salah seorang ulama yang dikenal untuk menyampaikan nasihat tersebut.”

Dengan deretan dalil kitab suci, hadits, pendapat para sahabat, imam mazhab dan ulama salaf yang sudah dijabarkan, yuk kita gunakan media sebijak mungkin, karena media yang kita gunakan dalam penyampaian kritik (salah satu contohnya media sosial) dapat berdampak hebat dalam membentuk opini publik. Jika tidak, alih-alih menimbulkan ketentraman dan kondusifitas, penggunaan media sosial yang kebablasan malah menimbulkan kekeruhan dan keretakan dalam masyarakat. Astaghfirullah. Apa yang terjadi dengan Libya dan Suriah di Timur Tengah dapat menjadi pelajaran berharga bagi umat muslim tanah air.

Sekian yang dapat kami sampaikan. Semoga kita dapat mulai mengamalkannya, sehingga bermanfaat. Aamiin

sumber: https://goo.gl/hbVEVB

Share this:

ABOUT THE AUTHOR

Adz-Dzikr (pemberi peringatan) merupakan salah satu dari nama lain Al-Qur'an. Allah menyebut nama Adz Dzikr diantaranya dalam surat Al Hijr (yang artinya): “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Adz-Dzikr, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya” (QS.Al-Hijr/15:9). Adz-Dzikr juga merupakan asal-usul kata dzikir yang menurut syariat Islam berarti mengingat Allah SWT.

0 komentar:

Post a Comment