Apa itu Isbal?

Assalamualaykum wr.wb.


Kebanyakan orang mungkin masih awam dan tidak mengetahui apa itu isbal, isbal umumnya adalah melabuhkan celana, sarung, atau jubah melebihi mata kaki. Taukah anda bahaya atau ancaman orang yang melabuhkan pakaiannya atau celananya melebihi mata kaki.

“Barangsiapa memanjangkan pakaiannya karena sombong, maka Allah tidak akan melihatnya kelak di hari kiamat.” Kemudian Abu Bakar bertanya, “Sesungguhnya sebagian dari sisi sarungku melebihi mata kaki, kecuali aku menyingsingkannya.” Rasulullah Saw menjawab, “Kamu bukan termasuk orang yang melakukan hal itu karena sombong.” (HR. Jama’ah, kecuali Imam Muslim dan Ibnu Majah dan Tirmidizi tidak menyebutkan penuturan dari Abu Bakar.)

Dari Ibnu ‘Umar dituturkan bahwa Rasulullah Saw telah bersabda:

“Isbal itu bisa terjadi pada sarung, sarung dan jubah. Siapa saja yang memanjangkan pakaiannya karena sombong, maka Allah swt tidak akan melihatnya kelak di hari kiamat.” (HR. Abu Dawud, an-Nasa`i, dan Ibnu Majah)

Maa asfala minal ka’baini minal izaar fafin naar (Setiap pakaian yang melebihi mata kaki maka tempatnya adalah di neraka) (Bukhari – Muslim dari Abu Hurairah)

Kita katakan: Hadits ini tegas dan jelas menyatakan musbil itu tempatnya di neraka. Jika ada yang mengatakan: Tidak, isbal itu terlarangnya kalau sombong, kalu tidak sombong ya tidak apa-apa. Dalinya adalah hadits berikut:

Man jarra izaarahu khuyala-a lam yanzhurillahu ilaihi yaumal qiyaamah (Barangsiapa yang menyeret pakaiannya karena sombong, Allah tidak akan melihatnya di hari kiamat) (Bukhari – Muslim dari Ibnu Umar)

Kita jawab: Kalau anda beranggapan demikian, silakan anda komentari hadits berikut:

Irfa’ izaaraka ila nisfis saaq, fain abaita failal ka’bain, waiyyaka waisbaalal izzaar fainnahaa minal makhiilah, wainnallaha laa yuhibbul makhiilah (Angkatlah pakaianmu sampai setengah betis, kalau tidak mau maka angkatlah sampai kedua mata kaki. Jauhilah olehmu isbal karena sesungguhnya isbal itu termasuk kesombongan dan Allah tidak menyukai kesombongan) (Abu Dawud dari Jabir bin Salim)

Dalam hadits ini Nabi memerintahkan untuk mengangkat pakaian. Setelah itu memperingatkan agar tidak isbal. Cocok kan dengan hadits No.1?

Kemudian Nabi mengatakan sesungguhnya isbal itu bagian dari kesombongan. Tidakkah ini juga sekalian memborong hadist No. 2? Artinya isbal itu sombong atau tidak sombong tetap haram. Kalau tidak sombong maka kena ancaman hadits pertama. Kalau sombong maka terkena ancaman hadits kedua.

Jika dia mengatakan: Ah tidak ya akhi… jangan dipecah hadits No. 3 tersebut. Justru harus disatukan bahwa isbal itu hubungannya dengan kesombongan.

Kita jawab: Saudara, kata Islam jika disebutkan menyendiri maka maknanya mencakup Iman. Kata Iman jika disebutkan menyendiri, maka maknanya termasuk Islam. Dan kata Islam dan Iman jika disebutkan bersama-sama maka maknanya adalah sendiri-sendiri.

Demikian juga masalah ini. Hadits No.1 menyebutkan tentang isbal. Hadits No. 2 menyebutkan tentang kesombongan dalam isbal. Dan hadits No. 3 menyebutkan tentang keduanya. Jadi? Ya sama, itu adalah dua hal yang berbeda alias tidak bisa digabung. Artinya, jika tidak sombong ya kena ancaman Hadits No.1. Jika sombong ya kena ancaman hadits No. 2.

Ditambah lagi, Hadits tentang isbal itu kata kuncinya adalah mata kaki (Hadits No1 dan No. 3), sedangkan hadits tentang isbal dengan kesombongan kata kuncinya adalah menyeret pakaian. Lalu apa yang akan anda katakan tentang pakaian yang melebihi mata kaki tapi tidak sampai tanah baik sombong atau tidak sombong? Apakah anda akan bilang boleh melebihi mata kaki dan sombong asal tidak sampai menyentuh tanah?

Jika dia mengatakan: Lalu bagaimana dengan hadits Abu Bakar yang melorot celananya dan Nabi mengatakan:

Innaka lasta min man yashna’ khuyalaa-a (Engkau bukan termasuk yang melakukan itu karena sombong) (Abu Dawud dari Ibnu Umar)

Kita katakan: Saudara, apakah anda berfikir Abu Bakar itu orang bodoh? Justru dia itu orang yang pintar. Makanya saking pintarnya dia bertanya kepada Nabi tentang kodisinya. Ketika Nabi mengatakan: Sesungguhnya Allah tidak akan melihat orang yang menyeret pakaiannya karena sombong, kemudian Abu Bakar melorot celannya, sebetulnya Abu Bakar bisa saja tidak bertanya. Toh yang dilarang adalah karena sombong. Beliau kan melorot tidak sengaja bukan sengaja melorotkan sehingga kadang terseret bajunya. Apalagi beliau sama sekali tidak berniat sombong dengan melorotnya itu.

Namun beliau justru bertanya karena kondisinya adalah sebagaimana Hadits No. 1, 2 dan 3, memanjangkan pakian itu dilarang dan ini termasuk kesombongan. Kalau sengaja menyombongkan kena lah ke ancaman hadits Nabi tersebut, makanya dia bertanya, kalo kedodoran sehingga melorot ke bawah mata kaki itu termasuk kategori makhilah/kesombongan tidak? Nah maka nabi menjawab engkau bukan termasuk yang melakukan itu karena kesombongan. Karena pada asalnya beliau juga pakaiannya di atas mata kaki, kemudian melorot sehingga di bawah mata kaki. Lalu beliau bertanya dengan makna apakah ini menjadi bagian dari kesombongan?!

Jika anda tidak puas, mari kita simak hadits Ummu Salamah yang menanyakan tentang bolehnya menjulurkan unjung pakaian wanita setelah Nabi mengatakan hadits No. 2 di atas:

Fakaiafa yashna’un nisa’ bidzuyuulihinna (Apa yang harus dilakukan oleh kaum wanita terhadap ujung pakaiannya?) Nabi menjawab: yurkhiina syibran (panjangkan sejengkal) Ummu salamah melanjutkan: idzan tankasyifu aqdamuhunna (kalau segitu, kaki mereka masih kelihatan) Nabi menjawab: Fayurkhiyannahu dzira’an laa yazidna ‘alaihi (Kalau begitu panjangkan sehasata dan jangan lebih). (At-Tirmidzi dari Ibnu Umar)

Silakan disimak. Apakah Ummu Salamah adalah orang yang bodoh juga sampai bertanya demikian? Bukankah dia bisa saja tidak bertanya, toh wanita memanjangkan pakaian itu karena suatu alasan, yakni menutup aurat. Bukan sombong atau lainnya. Dia ada hajat, ada alasan kenapa harus dipanjangkan. Namun demikian beliau tetap bertanya karena tahu bahwa memanjangkan pakaian adalah bentuk kesombongan.

Jawaban Nabi juga jelas. Kenapa beliau hanya memerintahkan sejengkal, lalu sehasta dan menutup dengan larangan jangan lebih? Bukankah semakin panjang semakin baik, sehingga aurat semakin sulit terlihat mankala ujung baju tersingkap? Jawabnya tentu karena memanjangkan pakain di bawah mata kaki adalah haram karena itu minal makhilah terlebih sampai di seret dan juga disertai niat kesombongan. Karenanya Nabi memerintahkannya hanya sejengkal terlebih dahulu baru kemudian diperpanjang sehasata dan tidak boleh lebih. Apakah pembatasan ini karena Ummu Salamah sombong? Saya kira anda akan sepakat bawah jawabnnya adalah bukan.

Maka siapapun yang masih berpendapat bahwa isbal itu boleh kalau tidak sombong, silakan mengajukan alasan lain kenapa demikian. Jika tidak, apakah boleh kita katakan kepada dia bahwa model seperti inilah yang termasuk khuyalaa bahkan bukan lagi khuyala’ tapi malah ‘ainul kibr, yakni batharul haq (menolak kebenaran)?

Contoh lain adalah apa yang akan menjadi pembahasan kita yaitu isbal. Mari kita simak:

1.Man jarra izaarahu khuyala-a lam yanzhurillahu ilaihi yaumal qiyaamah (Barangsiapa yang menyeret pakaiannya karena sombong, Allah tidak akan melihatnya di hari kiamat) (Bukhari – Muslim dari Ibnu Umar)

2.Maa asfala minal ka’baini minal izaar fafin naar (Setiap pakaian yang melebihi mata kaki maka tempatnya adalah di neraka) (Bukhari – Muslim dari Abu Hurairah)

Di hadits pertama ada taqyiid yaitu khuyalaa, yakni bagi yang memanjangkan pakaiannya karena sombong. Adapun hadits kedua muthlaq, yakni setiap yang pakaian yang dibawah mata kaki maka (pelakunya) akan masuk neraka. Muthlaq tanpa dibatasi apakah sombong atau tidak.

Apakah kita boleh membatasi hadits yang kedua ini dengan hadits yang pertama, yakni setiap pakaian yang dibawah mata kaki karena sombong maka pelakukanya akan masuk neraka?

Jawabnya: Tidak. Kenapa? Karena hukumnya berbeda. Di hadits pertama dinyatakan bagi yang memanjangkan pakaian karena sombong maka Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat, tidak akan menyucikannya dan dia akan mendapatkan adzab yang pedih. Adapun orang yang semata-mata memanjangkan pakaiannya baik karena sombong ataupun tidak, maka dia akan masuk neraka. Adzab bagi yang kedua ini tersendiri berbeda dari yang pertama. Sehingga jika kita memaksa untuk menerapkan taqyiid pada hadits yang kedua berarti kita harus mengatakan salah satu dari dua hadits tersebut adalah dusta. Karena hukumnya akan berubah dalam hal ini adzabnya akan berubah: Setiap yang melebihi mata kaki karena sombong, maka pelakukanya akan masuk neraka. Lalu kemanakah adzab untuk hadits yang pertama? Bukankah penerapan taqyiid untuk hadits yang kedua ini menjadikan adzab bagi yang menyeret pakaiannya karena sombong seperti tercantum di hadits pertama itu akan turun derajat adzabnya dari Tidak dilihat, tidak disucikan dan akan mendapat adzab yang pedih menjadi akan masuk neraka? Jadi dengan demikian keadannya sama dengan mengatakan bahwa hadits pertama itu dusta dalam hal hukumnya, yakni tidak ada itu yang namanya tidak diihat, tidak disucikan dan adzab yang pedih, yang ada hanyalah masuk neraka. Dengan demikian maka tidak bisa kita terapkan kaidah muthlaq dan muqayyad pada dua hadits ini.

Ditambah lagi hal yang menunjukkan bahwa ini tidak bisa dilakukan adalah sifat pengamalannya sediri juga berbeda. Termasuk hadits kedua adalah orang yang memanjangkan pakaian melebihi mata kaki tapi tidak sampai menyentuh tanah. Sedangkan hadits pertama adalah untuk yang menyeret (jarra) pakaianya, sehingga dalam pengamalnnya pun jelas berbeda. Artinya apa? Kalo taqyid dipakai tentu dia harus memahami bahwa hadits kedua juga Jarra, jadi kalau hanya melebihi mata kaki namun dan tidak sampai menyentuh tanah/terseret maka tidak mengapa kendati dilakukan dengan sombong. Dan ini tentu adalah pemahaman yang keliru yang tidak seorangpun berpendapat demikian.

Bagaimana jika ada yang keukeuh pokona mah asal tidak sombong it’s Ok bro’. Toh saya memanjangkannya tidak bermaksud sombong. Maka kita tanya pada dia: lalu apa maksudmu memanjangkan pakaian kalau begitu?

Jika dia menjawab: Untuk keindahan, kepantasan dlsb… Maka kita jawab, yang seperti ini lebih jelas lagi bukan alasan untuk membawa yang muthlaq menjadi muqayyad. Maka atas dasar apa anda mengecualikan boleh kalau tidak sombong?

Jika dia menjawab: Ya hadits Abu Bakar! Kan saya sama dia di hadapan hukum Allah adalah sama, kalau dia tidak sombong boleh, maka saya pun kalau tidak sombong tentu juga boleh!

Kita jawab: Benar, anda dan Abu Bakar adalah sama di dalam hukum Allah. Akan tetapi apakah yang ada di hati anda sama dengan yang ada dihatinya Abu Baker? Coba anda cermati kata-kata Abu Bakar kepada Nabi: Yastarkhi ‘alayya (melorot). Artinya itu diluar kehendak beliau. Beliau pada asalnya adalah tidak isbal, kemudian tanpa sengaja sering melorot. Sementara anda? Anda malah sengaja meminta tukang jahit, panjangkan sekian senti, turunkan lagi sekian… Apakah yang seperti ini anda katakan anda sama dengan Abu Bakar kondisinya sehingga anda berhak mendapat hukum boleh? Ditambah lagi, melorotnya pakaian Abu Bakar itu tidak berlangsung terus menerus, tapi kadang suka melorot. Adapun anda, sepanjang hari pakaian anda senantiasa dibawah mata kaki!!! Mau beranalogi dari sisi mana lagi?

Share this:

ABOUT THE AUTHOR

Adz-Dzikr (pemberi peringatan) merupakan salah satu dari nama lain Al-Qur'an. Allah menyebut nama Adz Dzikr diantaranya dalam surat Al Hijr (yang artinya): “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Adz-Dzikr, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya” (QS.Al-Hijr/15:9). Adz-Dzikr juga merupakan asal-usul kata dzikir yang menurut syariat Islam berarti mengingat Allah SWT.

5 komentar:

  1. isbal bukan hanya di waktu sholat tetapi di setiap saat!!!^^

    ReplyDelete
  2. Jika dia menjawab: Untuk keindahan, kepantasan dlsb… Maka kita jawab, yang seperti ini lebih jelas lagi bukan alasan untuk membawa yang muthlaq menjadi muqayyad. Maka atas dasar apa anda mengecualikan boleh kalau tidak sombong?..

    betul!! tidak ada kepatuhan pada yang bermaksiat kepada Alloh !!

    artinya muqayyad tuh apa sih??

    ReplyDelete
  3. Muqayyad: adalah lafadz yang menunjuk pada makna tertentu dengan batasan kata tertentu.

    Misal: ungkapan meja menjadi “meja hijau”, rumah menjadi “rumah sakit”,jalan menjadi “jalan raya”. Kata-kata rumah,jalan dan meja ini sudah menjadi muqayyad karena 1) menunjuk pada pengertian/makna tertentu dan 2) dikaitkan atau diikatkan dengan kata lainnya.

    Contoh dalam al qur’an misalnya kata kata raqabah yang telah dibatasi dengan kata mu’minah sehingga menjadi “raqabah mu’minah” dalam surat ani nisa’: 92 tentang kafarat pembunuhan.

    Budak mukmin (raqabah mu’minah) dalam ayat di atas memiliki makna muqayyad karena 1) menunnjuk pada makna tertentu dan 2) dibatasi dengan kata lainnya yakni budak mukmin bukan budak lainnya.

    ReplyDelete
  4. hmm.. hinun(admin) memang mantap!!

    ReplyDelete
  5. RASUL bersabda tidak akan masuk surga orang yg dalam hatinya ada syifat kesombongan sekalipun seberat biji sawi,tapi orang yg menerangkan ilmu nya dg nada sombong, apakah gak termasuk di hadist ini?

    ReplyDelete